Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2017

AL INSANU HAYAWANUN NATHIQ

Sejatinya, Tafkir (pemikiran) wal Tadabbur (penelitian) adalah suatu perkara yang dimiliki oleh setiap manusia, yang dengannya dapat membedakan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain dari ciptaan Allah ta'ala. Al-Ghazali menyebutkan bahwa manusia sebagai Hayawan Natiq, yakni hewan yang berfikir. Kata hewan disini yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali bukanlah hewan bermakna binatang, melainkan bermakna makhluk yang dapat berbicara, yang kemudian dibedakan dari makhluk lainnya oleh Allah ta'ala dengan diberi akal. Panca indera, seperti pendengaran, penglihatan dan hati adalah suatu keistimewaan yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada manusia, dan dengan ketiganya manusia dapat mencapai pemahaman, ilmu, dan juga dapat mengenal Tuhannya. Sebagaimana Allah ta'ala menyebutkan di dalam surah (An-Naĥl):78 - Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

WORLD VIEW

Sejatinya, agama itu dapat mempengaruhi perasaan, hati dan pikiran bagi setiap orang yang meyakini agama tsb. Dan pengaruh dari agama itu, akan terlihat pula pada sisi pengamalan perilaku dan tindakan di kehidupan keseharian. Baik itu mempengaruhi perilaku dan tindakan pada individu atau pun kelompok masyarakat di dalam aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya. Ada satu buku yang sangat menarik, ditulis oleh Dr. Noto Hamijoyo, seorang tokoh dari Partai Kristen Indonesia dan diterbitkan pada tahun 1998, judul bukunya Iman Kristen dan Politik. Beliau mengatakan "Apakah mungkin kita akan memisahkan antara iman kristen dan politik?". Walau kita tau di barat sendiri, ada satu faham yang berkembang tentang pemisahan antara gereja dan negara (sekulerisme). Namun Dr. Hamijoyo menjawab sendiri di dalam bukunya itu bahwa, "Iman kristen itu ada di dalam hati setiap orang-orang kristen yang beriman, maka ketika orang kristen itu berpolitik, politiknya itu tidak ak

Menjaga Kemurnian Tauhid

Oleh: Al Ustadz Taufiq Rahman, Lc -hafidzahullah- Imam al-Bukhary dan Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum, bahwasannya mereka berdua berkata : “Menjelang wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menutupkan kain ke wajahnya. Jika merasa agak ringan, beliau menyingkap kain tersebut dari wajahnya. Beliau bersabda dalam keadaan demikian : ‘Semoga laknat Allah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka telah menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai tempat ibadah’; beliau memperingatkan (umatnya) dari apa yang mereka perbuat”. (Terjemah HR. al-Bukhary dan Muslim) Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sakit, sebagian istri-istrinya menyebutkan tentang sebuah gereja di negeri Habasyah yang disebut : Maria. Ummu Salamah dan Ummu Habibah dahulu pernah mendatangi negeri Habasyah. Mereka pun menyebutkan tentang keindahannya dan juga gambar-gambar/ patung-patungn

SINKRETISME SALAH SATU TREND PLURALISME

Didalam salah satu tren pluralisme agama-agama, ada satu tren filsafat yang disebut dengan Filsafat Sinkretisme, yaitu suatu proses PERPADUAN dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Dengan tujuan untuk mencari keserasian dan keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi untuk dimungkinkannya berlaku inklusif pada agama lain. Salah satu contoh dari perpanduan agama yang di hasilkan oleh Filsafat Sinkretisme ini yaitu bisa kita lihat pada ajaran Agama Sikhisme (bahasa Punjabi: ਸਿੱਖੀ). Yaitu sebuah perpaduan antara Agama HIndu dan Islam, yang muncul dari adanya pergerakan perubahan dalam agama Hindu (misalnya Bhakti, monisme, metafisika Weda, guru ideal, dan bhajan) serta Islam Sufi. Agama ini berangkat dari adat-adat sosial dan struktur dalam agama Hindu dan Isl

SEMUA SAMA DI MATA DEMOKRASI NAMUN TIDAK DIDALAM ISLAM

Di alam demokrasi, suara orang awam dan suara orang yang ahli, sama-sama terhitung satu di dalam hal untuk memilih pemimpin. Maka dari itu, akan muncul pertanyaan, bagaimana bisa seorang yang awam, dapat disamakan derajatnya degan orang yang ahli? Dalam Islam, manusia itu memiliki derajat yang berbeda-beda, bukan karena Islam tidak berlaku adil, justru dengan membedakan derajat manusia itulah menunjukkan keadilan Islam. Tentu bagi orang muslim yang bertaqwa, akan berbeda derajatnya dengan orang kafir. Maka, begitu pula dalam hal ilmu, manusia dibedakan derajatnya melalui kapasitas keilmuannya, ada yang jahil dan ada pula yg alim. Dari kesemua perbedaan derajat manusia itu terjadi, bukan karna hasil dari bawaan lahir, akan tetapi dari hasil sebuah proses serta usaha yang dilakukan oleh manusia itu sendiri untuk mengupgrade dirinya. Dahulu misalnya, ketika bangsa Yunani di Athena menerapkan sistem Demokrasi, orang-orang semisal Aristoteles sudah mengkritisi sistem dan konsep Demokrasi

FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM

Pendidikan dasar yg berbasis karakter tdk akan berguna, jika tanpa dilandasi nilai-nilai ketauhidan didalamnya. Sekedar mampu membentuk budaya masyarakat disiplin, semisal dgn teratur dalam berbaris untuk sabar dlm mengantri, tdk buang sampah sembarangan, dan berbagai macam bentuk karakter positif lainnya, tdk akan berguna jika tanpa dilandasi Tauhidullah (Iman). Di jepang misalnya, masyarakatnya dikenal dgn budaya disiplin, serta etos kerjanya yang tinggi, dan penghormatan yang besar atas hasil karya orang lain. Yang tentunya, itu semua hasil dari pendidikan dasar yang  mereka terapkan di dalam membentuk karakter individu-individu masyarakatnya, dengan berlandaskan dari nilai-nilai humanisme yang sekuler. Di dlm pandangan alam islam, seseorang tdk cukup hanya dgn berperilaku baik dan berguna bagi sesamanya, melainkan yg terpenting dan yang utama adalah bagaimana hubungan dan interaksi dia kpd Tuhannya berjalan dgn baik. Sebab hubungan dan interaksi kpd Tuhannya itulah yg menjadi int

NASIONALISME DAN SOLIDARITAS MUSLIM GLOBAL

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Masyarkat non-muslim menjadikan ikatan tanah air, bangsa, suku, ras dan nasab keturunan sebagai ikatan antar individu. Oleh karena itu mereka hanya memberikan loyalitas penuhnya, terhadap ikatan-ikatan itu semata-mata. Maka, apa-apa yang berguna bagi tanah airnya, bangsanya, sukunya, rasnya, atau keturunannya akan diterima. Sebaliknya, apa yang membahayakan bagi ikatan nasio mereka, mereka tidak akan melakukannya, serta akan menolaknya. Mereka pada dasarnya hanya kan berkerja sama atas dasar ini semua. Berperang atas dasar hal ini, serta saling membantu atas dasar ini pula. Dan mereka tidak akan memberikan hak-hak kepada orang lain yang bukan dari bangsa mereka, suku, ras, ataupun keturunan mereka. Bahkan mereka dapat memperlakukan orang lain diluar masyarakatnya dengan beda, diskriminatif, dan intoleran dan bahkan mereka menghina, menindas, serta menganggap rendah orang yang bukan sebangsa dengan mereka. Berbeda halnya dengan komunitas di dalam masyarak

NALAR OVERDOSIS

Kaum agamis acap kali dipojokkan sebagai orang yang tak mampu menggunakan nalarnya sebab doktrin agama yang terlalu kuat sehingga menundukkan nalar atas nash-nash wahyu. Padangan seperti ini, sering dilontarkan oleh mereka para filsuf atau pun pengusung liberalisme. Sejatinya, kaum agamis bukan tak mampu menalar atau menggunakan nalarnya. Namun, saking mengertinya mereka akan batas-batas kerja nalar, sehingga tak semua hal mereka nalar melainkan itu harus membutuhkan penjelasan wahyu. Overdosis didalam penggunaan nalar, akan apa yang tak mampu dijangkaunya, hanya akan berdampak merusak fungsi nalar. Dan agama, sebagaimana yang sudah menjadi hukum baku didalam maqashid syariah, justeru menjaga nalar itu sendiri. Jumlah bulu hidung anda pun tak dengan sekejap mampu anda nalar untuk menentukan jumlahnya, ken?

RELATIVISME KEBENARAN

Banyak kalangan penyebar paham Pluralisme Agama yang menggunakan paham relativisme akal dan relativisme iman sebagai dasar pijakannya. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation: “Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis: “Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat rel

FIQHUD DA'WAH

Di hari raya Idul Adha, umat muslim sangat dianjurkan untuk melaksanakan kurban sebagai wujud ketaqwaan terhadap Allah Swt. Tiga perkara yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu’ (sunnah), yaitu shalat witir, menyembelih udhiyah dan shalat dhuha. (HR. Ahmad dan Al-Hakim) Musim kurban tentu sangat menyenangkan bagi umat muslim, karena bisa berbagi daging terhadap mereka yang jarang atau tak pernah merasakan makan daging. Sebuah ibadah yang menekankan tentang kepekaan sosial. Hewan yang bisa dikurbankan salah satunya sapi. Bisa kita lihat di beberapa kota di Indonesia banyak sapi yang menjadi alternatif hewan kurban setelah kambing. Namun, berbeda dengan muslim di kota Kudus, Jawa Tengah. Mereka lebih memilih tidak menyembelih sapi. Mengapa demikian? Di Kudus, sebagai kota santri, umat Islam memang tidak menyembelih sapi untuk kurban di Idul Adha. Mereka memilih menyembelih kerbau. Sebab, hal ini berdasarkan ajaran toleransi yang diajarkan oleh ulama penyebar Is