Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

WAHABI DAN SEJARAH BANGSA INDONESIA

Dalam melakukan pembacaan sejarah mengenai Pembaharuan Pemikiran Islam di Nusantara, istilah Wahhabi sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Sebab, hampir semua para Mujaddid di Nusantara ini, juga di tuduh sesat dan menyesatkan serta tidak lupa pula gelar wahabi tersemat di belakang nama-nama mereka dikarenakan perjuangan mereka didalam meruntuhkan tradisi lama yang dengan paham lama itu, sehingga membuat Islam terasa begitu kaku dan tak berkemajuan. Kalau kita melihat sejarah Nusantara, sejak zaman Kaum Paderi dengan Imam Bonjol-nya, zaman kemerdekaan dgn Buya Hamka-nya, dan hingga era kita saat ini, istilah Wahabi itu tetaplah terlestarikan. Olehnya, bagi kita yang hidup di era digital seperti saat ini, tidak perlu pusing dengan pengistilahan Wahhabi tersebut. Sebab, tidaklah istilah wahhabi beserta tokoh-tokoh pergerakannya, telah menjadi bagian dari sejarah bangsa, yang dengan perjuangan mereka itu ikut pula mencerdaskan dan memerdekakan bangsa ini. Dan kita sebagai anak

ISLAMIC WORLDVIEW

Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam memiliki worldview (pandangan alam/pandangan hidup) yang berbeda dengan pandangan hidup agama/peradaban lainnya. Al-Attas menjelaskan sejumlah karakteristik pandangan hidup Islam, antara lain: (1) berdasarkan kepada wahyu; (2)  tidak semata-mata merupakan pikiran manusia mengenai alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik, dan budaya; (3) tidak bersumber dari spekulasi filosofis yang dirumuskan berdasarkan pengamatan dan pengalaman inderawi; (4) mencakup pandangan tentang dunia dan akhirat. Jadi, menurut al-Attas, pandangan hidup Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth), atau pandangan Islam mengenai eksistensi (ru’yat al-Islam lil wujud).  Al-Attas menegaskan, bahwa pandangan hidup Islam bersifat final dan telah dewasa sejak lahir. Islam tidak memerlukan proses ’pertumbuhan’ menuju kedewasaan mengikuti proses perkembangan sejarah. Jadi, karakteristik pandangan hidup I

TAUHID SEBAGAI INTI PENDIDIKAN ISLAM

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Tarbiyah (pendidikan) adalah asas utama untuk membangun sebuah peradaban ummat manusia. Olehnya, kebangkitan  Islam ini harus dimulai dari membangkitkan kembali pendidikannya yang berasaskan nilai-nilai keislaman. Tujuan dari pendidikan didalam Islam bukan saja bertujuan untuk melahirkan para cendekiawan, ilmuwan atau sekedar membentuk insan cerdas. Melainkan pendidikan di dalam Islam bertujuan untuk lebih kepada memanusiakan-manusia, dengan menitik-beratkan kepada pendidikan adab. Integrasi antara kecerdasan dan adab, selaras dalam membentuk pribadi muslim yang Islami. Agar nantinya, seseorang dengan adab dan kecerdasannya dapat berlaku adil, yaitu dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebab, itulah esensi dan tujuan dari Tarbiyah Islamiyah, yaitu membentuk manusia-manusia yang adil lagi beradab. Adil yang dimaksudkan disini adalah bagaimana seseorang dengan statusnya sebagai seorang hamba, ia menyadari benar akan fitrahnya untuk tunduk secara tota

'Aql wan' Naql

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Imam al-Ghazali menegaskan bahwa akal memerlukan dalil naqli, dan dalil naqli memerlukan akal. Oleh karena itu, Imam Ghazali memandang bahwa bertaqlid (membebek) atau menerima kepada pendapat orang tanpa mempergunakan akal (meninjau kembali) sama sekali adalah suatu kebodohan, begitu juga mencukupkan akal saja tanpa memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah suatu tipuan belaka. Maka, menurutnya jauhilah model seperti ini dan hendaklah mempergunakan atau menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan 'aqli), karena sesungguhnya "ilmu logika dan filsafat itu seperti makanan, dan ilmu-ilmu syara' itu adalah obat". Sebab, Dalil ‘Aqli yang benar akan sesuai dengan dalil naqli yang shahih. Apabila keduanya terjadi pertentangan, maka dalil naqli lah yang harus di dahulukan. Karena Naqli adalah sumber kebenaran, adapun Aqli, adalah alat untuk memahami sumber kebenaran itu sendiri. Jika alat untuk memahami sumber kebenaran rusak, maka

MEMUDAHKAN NAMUN MELALAIKAN

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Diera teknologi komunikasi dan informasi seperti saat ini, televisi, FB, WA dan Twitter telah menjadi "agama baru". Bila kita membandingkan kuantitasnya, manakah yang lebih banyak antara sembahyang kita menghadap Tuhan ataukah menghadap TV dan berbagai macam medsos? Jawabnya kemungkinan besar di hadapan TV dan medsos-medsos itu. Jika dahulu kita sama di hadapan Tuhan, namun kini "kita sama di hadapan TV, FB, WA, Twitter". Revolusi teknologi informasi telah menggerus kebiasaan beragama konvensional kita. Artinya, kebiasaan kita untuk mendengarkan pesan-pesan agama melalui media konvensional semisal pengajian dan kajian di masjid-masjid secara langsung. Kini telah takluk dan termalaskan dengan adanya kajian dan pengajian melalui TV dan medsos. Sejatinya dalam satu sisi, menggunakan media-media tsb baik untuk sebagian kalangan masyarakat yang awam, namun tidak bagi mereka para thullab, sehingga dengannya menjadi sebuah alasan untuk tdk l

BACA DAN TULIS SEBAGAI PROSES MEMBANGUN PERADABAN

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Yang paling menarik dari tradisi intelektual islam adalah tradisi menulis. Perbedaan, pertentangan dan bahkan perseteruan pendapat selalu dituangkan dalam bentuk buku. Sebagaimana contoh ketika al-Ghazali tdk setuju dgn pikiran-pikiran Ibn Shina, maka ia curahkan ketidaksetujuannya dengan menulis buku Tahafuth al-Falasifah. Begitu pula ketika Ibn Rusyd tdk sependapat dengan al-Ghazali, maka ia menyusun buku Tahafuth Tahafuth. Ketegangan Intelektual klasik Islam tersebut akan menjadi produktif dan justru akan menperkaya khazanah keilmuan Islam, jika itu dituangkan kedalam sebuah tulisan. Oleh sebab itu, lebih layak dan elegan lagi, jika ketidaksetujuan kita terhadap pandangan dari individu atau pun kelompok lain, kita tuangkan ke dalam bentuk karya-karya keilmuan yg berkualitas tinggi berupa tulisan. Saking pentingnya baca dan tulis ini, disebutkan di dalam siirah nabawiyah sebuah riwayat dari kisah orang-orang musyrik quraisy yang menjadi tawanan perang

TERBELAKANG DENGAN TUMBAL DAN SESAJI

Mengajak orang berpikir maju ternyata sulit. Sampai sekarng, dizaman super modern dan di era informasih super canggih ini, banyak orang masih sulit meninggalkan kepercayaan tahayul. Masih banyak yang keberatan meninggalkan sesajian dan persembahan kepada jin atau yang dipercaya sebagai 'penguasa' tempat tertentu. Dan hal ini bukan hanya dilakukan oleh orang-orang kampung dari desa-desa tertinggal, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang kota yg berpendidikan tinggi, bahkan sampe ada yg bergelar Profesor tetap melakukan ritual tahayul ini. Ketika ada kasus berat yg sulit di atasi, mereka tdk mengembalikan urusannya kpd Allah Pencipta segala kejadian, akan tetapi justru kpd apa yg diyakini sebagai kekuatan-kekuatan ghaib selain Allah ta'ala, maka DIMANA AKAL? Padahal hampir semua lembga pendidikan, mulai dari TK sampai perguruan tinggi, selalu menanamkan cara berpikir logis. Bahkan terkadang, berlebihan pula dalam menggunakan akal, sehingga mengabaikan kepercayaan terhadap k

POLIGAMI DAN MAKNA KEADILAN

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu Dalam nash, poligami dituntut menghadirkan sikap adil bagi yang mengamalkannya. Dalam konteks itu, maka keadilan memiliki dua arti: keadilan psikologis dan keadilan material. Sudah dapat dipastikan bahwa keadilan psikologis menuntut monogami. Sebab ketidakrelaan wanita kebanyakan untuk tidak ingin di poligami menunjukan ini. Sedangkan keadilan material terkait dengan kesetaraan nafkah lahir, lebih mudah ketimbang keadilan psikologis. Adapun sikap adil yang menjadi prasyarat dari poligami adalah keadilan dari sisi material, dan bukan sisi psikologis. Karena syariat atau hukum fiqh menilai dhahirnya perbuatan, bukan batinnya. Sebab perasaan yang menghantarkan untuk lebih condong kepada salah satu dari ke empat istri adalah hal yang jauh dari kendali dan rasio manusia. Karena adil dari sisi psikologis, itu di luar kekuasaan manusia.

ISLAM DAN HAK KAUM MINORITAS DALAM PLURALITAS AGAMA

Oleh: Rachmad Aditiar Garusu H ukum, tanggung jawab, serta contoh implementasi dari sejarah Muslim terhadap pluralitas agama begitu banyak kita dapati mengenainya dari zaman kezaman. Mengingat sangat luas dan kompleksnya masalah ini, maka saya hanya akan membahasnya dari satu perspektif saja, yang tentunya sangat relevan untuk kita bahas dan pahami disaat sekarang ini. Yakni yang berhubungan dengan masalah Hak Asasi Minoritas (HAM) yang hidup didalam komunitas ataupun negara kaum Muslimin. Yaitu mereka yang di dalam hukum fikih disebut dengan "Ahl al-Dzhimmah". Berdasarkan status dzhimmi (tanggungan) merrka, komunitas Ahl al-Dzhimmah sebagai yang menjadi bagian dari “Ahl Dar al-Islam” (Penduduk Negara Islam).  Dengan demikian mereka ini mendapatkan apa yang di zaman kita sekarang di istilahkan dengan status “kewarganegaraan” politis. Sejatinya, ketentuan pola hubungan dengan pemeluk agama lain yang sepakat  hidup berdampingan dengan damai, secara umum telah digariskan di d