BACA DAN TULIS SEBAGAI PROSES MEMBANGUN PERADABAN
Oleh: Rachmad Aditiar Garusu
Yang paling menarik dari tradisi intelektual islam adalah tradisi menulis. Perbedaan, pertentangan dan bahkan perseteruan pendapat selalu dituangkan dalam bentuk buku. Sebagaimana contoh ketika al-Ghazali tdk setuju dgn pikiran-pikiran Ibn Shina, maka ia curahkan ketidaksetujuannya dengan menulis buku Tahafuth al-Falasifah. Begitu pula ketika Ibn Rusyd tdk sependapat dengan al-Ghazali, maka ia menyusun buku Tahafuth Tahafuth.
Ketegangan Intelektual klasik Islam tersebut akan menjadi produktif dan justru akan menperkaya khazanah keilmuan Islam, jika itu dituangkan kedalam sebuah tulisan. Oleh sebab itu, lebih layak dan elegan lagi, jika ketidaksetujuan kita terhadap pandangan dari individu atau pun kelompok lain, kita tuangkan ke dalam bentuk karya-karya keilmuan yg berkualitas tinggi berupa tulisan.
Saking pentingnya baca dan tulis ini, disebutkan di dalam siirah nabawiyah sebuah riwayat dari kisah orang-orang musyrik quraisy yang menjadi tawanan perang di dalam perang badar, yang kemudian mereka dibebaskan akan tetapi dengan syarat, harus mau mengajar membaca dan menulis bagi anak-anak kaum muslimin.
Hal itu menjadi satu bukti sejarah bagi kita, agar kita dapat mengambil pelajaran dengannya. Bahwa, bagaimana sebuah proses peradaban itu dibangun, melainkan harus dgn membudayakan baca dan tulis.
Komentar
Posting Komentar