"HARAM"NYA POLITIK DAN PEMILU. NAMUN SIAPA YANG TERPILIH DARINYA, MAKA WAJIB UNTUK DI TAATI.
Oleh: Tiar Garusu
Sejak awal sekitar pada tahun 1950-1960an antara politik dan Islam di Indonesia tidak bisa menyatu. Hal ini dikarenakan seringnya didengungkan sebuah fatwa oleh para kiai dan ulama yang anti politik. Mereka memandang bahwa politik itu najis dan tidak boleh berdekatan dengan agama yang menurut pandangan mreka bahwa Islam itu suci. Sehingga tidak mengherankan jika politik diharamkan oleh para ulama bagi umat Islam pada saat itu.
Selain itu pula, salah satu pengharaman dan penajisan politik tak lain karena dalam pandangan umum mereka, bahwa politik itu sama saja dengan melakukan tumbal bagi kebohongan untuk mendapat legitimasi dan pengaruh publik dengan cara-cara yang curang dan licik. Bahkan politik itu diibaratkan dengan membelah bambu, satu diinjak dan satunya diangkat. Sungguh tragis!
Melihat perjalanan antara Islam dan politik di Indonesia yang seakan berbenturan itu, seorang orientalis berkebangsaan Belanda, Martin Van Bruinessen mencoba untuk mengkaji dan menelusuri seluk-beluk dari fenomena tersebut yg kemudian ia tuangkan di dalam bukunya "Rakyat Kecil, Islam dan Politik".
Dia menyebutkan bahwa hubungan antara ulama dan umara (pemimpin) selalu bersifat ambivalen. Pada satu sisi, mereka selalu menghimbau ummat Islam untuk tidak melibatkan diri di dalam masalah politik, akan tetapi disisi lain senantiasa memberikan legitimasi keagamaan kepada pemegang kekuasaan de facto (alias waliul amri bisy syaukah, menurut istilah ulama Indonesia tahun 1950-an).
Realitas dari pandangan dan sikap yang ambivalen, yang diperlihatkan oleh sebagian ulama-ulama yang anti terhadap politik pada tahun 50-60an tersebut, hingga kini eksistensi dari pandangan dan sikap yang ambivalen itu pun masih terus berlangsung dan diajarkan. Baik diajarkan melalui media radio, televisi, dan berbagai buku yang diterbitkan.
Bahwa menurut pandangan tersebut, kita ummat Islam tidak boleh mengikuti pemilu apalagi terjun langsung kedalam politik praktis. Akan tetapi disisi lain, apa yang menjadi hasil dari pesta demokrasi tersebut, maka pemimpinnya itu wajib untuk ditaati sebagai bentuk dari legitimasi kekuasaan bagi pemimpin yang terpilih melalui sistem demokrasi yang sebelumnya telah diingkari.
Komentar
Posting Komentar