Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

MEMAHAMI PERSPEKTIF KAUM FEMINIS DALAM MENILAI GENDER

Problematika perempuan menurut kaum feminis, berawal dari keprihatinan mereka terhadap cara pandang teologis dalam memposisikan kaum perempuan, baik di ruang publik mau pun dalam institusi keluarga.  Cara pandang ini menurut mereka, berakar dari teologi maskulin yang bersifat patriarki. Pemahaman terhadap doktrin agama yang bersifat Sami'na wa Atho'na, juga di anggap semakin memperparah pemikiran ummat. Yang kemudian mengakibatkan posisi teologis di artikulasikan oleh ulama-ulama Islam kedalam dua tema, yaitu "reaktualisasi" dan "rekonstruksi" di dalam membangun konstruk masyarakat dan peradaban. Bagi kaum feminis, mereka setuju bahwa perbedaan seksual antara wanita dan pria, adalah merupakan pemberian dari Tuhan. Akan tetapi membedakan wanita dan pria dalam hal fungsi, peran, hak dan kewajiban di dalam ruang publik dan keluarga, adalah sebuah kesalahan. Sebab bagi kaum feminis, terbentuknya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan dari sisi peran,

"HARAM"NYA POLITIK DAN PEMILU. NAMUN SIAPA YANG TERPILIH DARINYA, MAKA WAJIB UNTUK DI TAATI.

Oleh: Tiar Garusu Sejak awal sekitar pada tahun 1950-1960an antara politik dan Islam di Indonesia tidak bisa menyatu. Hal ini dikarenakan seringnya didengungkan sebuah fatwa oleh para kiai dan ulama yang anti politik. Mereka memandang bahwa politik itu najis dan tidak boleh berdekatan dengan agama yang menurut pandangan mreka bahwa Islam itu suci. Sehingga tidak mengherankan jika politik diharamkan oleh para ulama bagi umat Islam pada saat itu. Selain itu pula, salah satu pengharaman dan penajisan politik tak lain karena dalam pandangan umum mereka, bahwa politik itu sama saja dengan melakukan tumbal bagi kebohongan untuk mendapat legitimasi dan pengaruh publik dengan cara-cara yang curang dan licik. Bahkan politik itu diibaratkan dengan membelah bambu, satu diinjak dan satunya diangkat. Sungguh tragis! Melihat perjalanan antara Islam dan politik di Indonesia yang seakan berbenturan itu, seorang orientalis berkebangsaan Belanda, Martin Van Bruinessen mencoba untuk mengkaji dan menel

JUMUD

Bagi kaum tradisionalis Islam, pintu ijtihad telah tertutup disebabkan kefahaman yang salah dalam menilai, bahwa pandangan dari ijtihad ulama-ulama terdahulu telah mencukupi seluruhnya, tanpa mau melihat lagi kepada kenyataan zaman yang terus berkembang dan berubah-ubah, serta dengan berbagai permasalahan kontemporer yang terus ditimbulkannya. Sebagaimana satu kisah (sebagai contoh kasus), bahwa dahulu pernah KH. Ahmad Dahlan dikatakan 'kafir' oleh kaum tradisionalis lantaran beliau menggunakan meja dan kursi dalam memberi pelajaran kepada murid-muridnya, akibatnya beliau dianggap tasyabbuh terhadap sekolah-sekolah kafir Belanda. Sikap dari gaya beragama kaum tradisionalis seperti itu, hampir mirip dengan cara dan gaya beragama kaum khatolik diabad kelima belas, yang dimana gereja mencoba mengkungkung kebebasan berfikir masyarakatnya untuk mencapai kemajuan dan perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Islam adalah agama kemajuan, agama yang membawa peradaban yang tinggi  yang be